BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Teori Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak
milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia
terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir. Benda
dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang
abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang
merupakan hasil dari intelektualitas manusia.
Bisnis adalah suatu kegiatan perdangan
namun meliputi unsur-unsur yang lebih luas yaitu pekerjaan, profesi,
penghasilan, mata pencarian, dan keuntungan. Dalam perkembangannya bisnis
menjadi suatu hal yang sangat penting sehingga tidak dapat dipisahkan dengan
berbagai macam ancaman bahkan perselisihan didalamnya.
Setiap bisnis
tentunya tidak pernah lepas dari Hak Atas
Kekayaan Intelektual
(HaKI) seperti merek dan
patent. Di era digital dan global ini, melindungi sebuah merek dagang serta
patent sangat penting. Sejarah sudah membuktikan bahwa banyak sekali bisnis
yang tumbuh besar dan meraup keuntungan yang sangat besar karena mereka mampu
memanfaatkan kekuatan merek dan invention mereka.
Selain melalui paten, perusahaan
juga dapat meraih keuntungan dengan memanfaatkan merek. Merek tidak hanya
menjadi simbol pembeda antar produk, tetapi sudah menjadi sebuah definisi harga
sebuah produk. Merek dapat menjadikan sebuah produk menjadi memiliki nilai yang
berlipat ganda. Kekuatan dari setiap merek tentu saja tidak lahir begitu saja
melainkan melalui sebuah proses panjang mulai dari kualitas produk itu sendiri
sampai branding dan marketing yang akhirnya membentuk dan memposisikan merek
tersebut di benak masyarakat. Pada titik ini lah akhirnya kita baru sadar bahwa
sangat penting untuk melindungi merek tersebut. Dengan melindungi merek kita
melalui Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI), maka kita dapat memanfaatkan semua kekuatan merek untuk bisnis kita.
Selama ini
pembajakan hak cipta sudah menjadi tradisi sehari-hari (membudaya) dan bukan
dianggap sebagai suatu kejahatan. Dalam hal pemahaman akan pentingnya HaKI kita sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan
negara-negara lain. Bayangkan saja paten internasional tempe yang terdaftar
atas nama periset Indonesia hanya tiga, sedangkan yang dimiliki asing sebanyak
15 Paten (Data tahun 2001). Demikian juga dengan hasil kerajinan rotan, temuan
tentang rancang bangun rotan di Amerika Serikat jumlah patennya mencapai 193
buah, sedangkan Indonesia hanya 7 paten.
Melihat fakta
diatas, sangat penting sekali bagi masyarakat Indonesia untuk memahami
pentingnya HaKI. Agar
setiap produk, bisnis, dan jasa yang kita jalankan dapat dilindungi
keberadaanya. Perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) adalah hal yang sangat penting bagi tatanan ekonomi
modern.
Pelaksanaan dan
perlindungan HKI akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengalaman di sejumlah negara memperlihatkan bahwa pelaksanaan dan perlindungan
HKI turut mendorong investasi dan pengalihan teknologi secara cepat serta
merangsang daya saing masyarakat dan perusahaan setempat.
Di Indonesia, Undang-undang yang
melindungi karya cipta adalah Undang-undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak
cipta, dan telah melalui beberapa perubahan dan telah diundangkan Undang-Undang
yang terbaru yaitu Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai
berlaku 12 (dua belas) bulan sejak diundangkan. Tidak hanya karya cipta,
invensi di bidang teknologi (hak paten) dan kreasi tentang penggabungan antara
unsur bentuk, warna, garis (desain produk industri) serta tanda yang digunakan
untuk kegiatan perdagangan dan jasa (merek) juga perlu diakui dan dilindungi
dibawah perlindungan hukum. Dengan kata lain Hak atas Kekayaan Intelektual
(HaKI) perlu didokumentasikan agar kemungkinan dihasilkannya teknologi atau
karya lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dengan memperhatikan latar belakang
tersebut, agar dalam penulisan ini penulis memperoleh hasil yang diinginkan,
maka penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah. Rumusan masalah itu
adalah:
1.
Apa yang di maksud dengan HAKI dan apa saja prinsip-prinsipnya ?
2.
Bagaimana kondisi HAKI di Indonesia?
3.
Apa landasan hukum HAKI di Indonesia?
4.
Apa saja yang termasuk ruang lingkup HAKI?
5.
Mengapa Perlindungan Haki itu
penting?
6.
mengapa perlindungan atas Hak atas Kekayaan
Intelektual di Indonesia masih lemah?
7.
Bagaimanakah prospek hukum hak atas kekayaan milik intelektual di Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan bisnis di Indonesia?
C.
TUJUAN
Adapun tujuan
dari penulis disini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui
pengertian HaKI dan prinsip-prinsipnya.
2.
Untuk mengetahui bagaimana kondisi HAKI di
Indonesia.
3.
Untuk mengetahui landasan hukum HAKI di Indonesia.
4.
Untuk mengetahui ruang lingkup HAKI.
5.
Untuk mengetahui pentingnya HaKI.
6.
Untuk mengetahui sebab-sebab lemahnya perlindungan
atas Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia.
7.
Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai prospek
hukum hak atas kekayaan intelektual di Indonesia dalam rangka
memberikan perlindungan bisnis di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HAKI
Kekayaan Intelektual atau Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak
Milik Intelektual adalah
padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR) atau Geistiges Eigentum, dalam
bahasa Jermannya. Istilah atau terminologi Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada tahun
1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang
dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam
pengertian isinya. Istilah HKI
terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan
merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual.
Istilah HAKI sebelumnya bernama Hak Milik Intelektual
yang selama ini digunakan. Istilah Hak Milik Intelektual (HMI) masih banyak
digunakan karena dianggap logis untuk memilih langkah yang konsisten dalam
kerangka berpikir yuridis normatif. Istilah HMI ini bersumber pada konsepsi Hak
Milik Kebendaan yang tercantum pada KUH Perdata Pasal 499, 501, 502, 503, 504.
Menurut Undang-undang No. 19 Tahun 2002 pasal 1
angka 1 bahwa Hak Cipta sebagai hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Hak Atas Kekayaan Intelektual merupakan hak yang
diberikan kepada orang orang atas hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak
eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran si
pencipta dalam kurun waktu tertentu. HaKI adalah hak yang berasal dari hasil
kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada
khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna
dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta mendefinisikan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. (pasal 1 ayat 1).
B.
PRINSIP-PRINSIP HAKI
a.
Prinsip Ekonomi (The Economic Argument)
Berdasarkan prinsip ini HKI memiliki manfaat dan
nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan manusia. Nilai ekonomi pada HKI
merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya, pencipta mendapatkan
keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya seperti dalam bentuk pembayaran
royalti terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptaannya. Prinsip ekonomi,
yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya pikir
manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan
keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
b.
Prinsip Keadilan (The Principle of Natural Justice)
Berdasarkan prinsip ini, hukum memberikan
perlindungan kepada pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam
rangka kepentingan yang disebut hak. Pencipta yang menghasilkan suatu karya
berdasarkan kemampuan intelektualnya wajar jika diakui hasil karyanya. Prinsip
keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja
membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni,
dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
c.
Prinsip Kebudayaan (The Cultural Argument)
Berdasarkan prinsip ini, pengakuan atas kreasi
karya sastra dari hasil ciptaan manusia diharapkan mampu membangkitkan semangat
dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru. Hal ini disebabkan karena
pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat berguna
bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia. Selain itu,
HKI juga akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa maupun negara.
Prinsip kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk
meningkatkan kehidupan manusia.
d.
Prinsip Sosial (The Social Argument)
Berdasarkan prinsip ini, sistem HKI memberikan
perlindungan kepada pencipta tidak hanya untuk memenuhi kepentingan individu,
persekutuan atau kesatuan itu saja melainkan berdasarkan keseimbangan individu
dan masyarakat. Bentuk keseimbangan ini dapat dilihat pada ketentuan fungsi
sosial dan lisensi wajib dalam undang-undang hak cipta Indonesia. Prinsip
social ( mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang
diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan
sehingga perlindungan diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan individu
dan masyarakat.
C.
KONDISI HAKI DI
INDONESIA
Hak Atas Kekayaan Intelektual
menjadi sangat penting untuk menggairahkan laju perekonomian dunia yang pada
akhirmya membawa kesejahteraan umat manusia. Meski terus ada upaya pengurangan
angka tarif dan kuota secara gradual dalam rangka mempercepat terbentuknya
perdagangan bebas, jika produk impor barang dan jasa dibiarkan bebas
diduplikasi secara ilegal, ini merupakan beban berat bagi pelaku perdagangan
internasional.
Pelanggaran HAKI berupa
pembajakan (piracy), pemalsuan dalam konteks hak cipta dan merek dagang
(counterfeiting), dan pelanggaran hak paten (infringement) jelas merugikan
secara signifikan bagi pelaku ekonomi, terutama akan melukai si pemilik sah
dari hak intelektual tersebut. Begitu pun konsumen dan mekanisme pasar yang
sehat juga akan terganggu dengan adanya tindak pelanggaran HAKI ini.
Pelanggaran HAKI yang terjadi antara lain juga karena saat itu DPR belum
menyelesaikan undang-undang tentang HAKI
serta ketidakpahaman aparat hukum dan masyarakat tentang hal tersebut. Hak
cipta yang sering dijiplak itu, antara lain karya fil, musik, merek, program
komputer, dan buku.
Indonesia sebagai salah satu
anggota WTO (World Trade Organization) telah memiliki serangkaian undang-undang
yang berkaitan dengan HAKI. Substansinya secara serius telah diadaptasikan
dengan standar-standar perlindunga internasional. Perlindungan HAKI bukan lagi
merupakan kebutuhan domestik suatu negara, tetapi telah menjadi tuntutan secara
universal dalam upaya membangun pasar dunia yang harmonisdan dinamis. Keputusan
yang diambil sangat tepat tetapi dalam implementasinya kita patut
mengkhawairkannya, melihat supremasi hukum yang belum bisa ditegakkan di negara
kita.
Saat ini Indonesia telah mempunyai
undang-undang di bidang HAKI sebagaimana
yang diamanatkan oleh perjanjian internasional yang telah diikuti Indonesia. HAKI kini menjadi sesuatu yang tidak asing
lagi bagi masyarakat Indonesia. HAKI kini menjadi suatu kenyataan bahwa HAKI
sangat melekat pada kehidupan sehari-hari.
Setiap hal yang melekat pada tubuh manusia tiak terlepas dari masalah
HAKI.
Permasalahan HAKI di Indonesia
memang tergolong kompleks yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan membalikan
telapak tangan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk
menyekesaikan sistem HAKI agar sejalan dengan ketentuan internasional yang
telah disepakati. Perlahan tapi pasti perubahan menuju keadaan yang lebih baik
yang menghargai karya intelektual orang lain akan berusaha untuk dicapai.
Begitu pula usaha untuk melengkapi semua produk hukum dibidang HAKI
sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang yang telah ada. Lengkapnya
aturan main disertai dengan upaya penegakan hukumnya diharapkan dapat
menjadikan Indonesia sebagai tempat yang kondusif bagi investasi asing dan
memperbaiki citra Indonesia di dunia internasional.
D.
LANDASAN HUKUM HAKI
Sejalan
dengan masuknya Indonesia sebagi anggota WTO/TRIP’s dan diratifikasinya
beberapa konvensi internasional di bidang HAKI sebagaimana dijelaskan pada
pengaturan HAKI di internasional tersebut di atas, maka Indonesia harus
menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HAKI. Untuk itu, pada
tahun 1997 Pemerintah merevisi kembali beberapa peraturan perundangan di bidang
HAKI, dengan mengundangkan:
1.
Undang-undang
No. 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak
Cipta
2.
Undang-undang
No. 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang
Paten
3.
Undang-undang
No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun 1992
tentang Merek
Selain
ketiga undang-undang tersebut di atas, undang-undang HAKI yang menyangkut ke-7
HAKI antara lain:
1)
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
2)
Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
3)
Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merk
4)
Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
5)
Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
6) Undang-undang
No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
7)
Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
Dengan
pertimbangan masih perlu dilakukan penyempurnaan terhadap undang-undang tentang
hak cipta, paten, dan merek yang diundangkan tahun 1997, maka ketiga
undang-undang tersebut telah direvisi kembali pada tahun 2001. Selanjutnya
telah diundangkan:
-
Undang-undang
No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
-
Undang-undang
No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (khusus mengenai revisi UU tentang Hak Cipta
saat ini masih dalam proses pembahasan di DPR).
E.
RUANG
LINGKUP HAKI
1.
Hak cipta (copy right)
Hak cipta adalah hak eklusif hak (hak yang semata-mata diperuntukan bagi
pemegangnya sehingga tidak ada pilihan lain yang boleh memanfaatkan hak
tersebut tanpa izin pemegangnya) bagi
pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan-peraturan yang berlaku. Di Indonesia, pengaturan hak cipta diatur
dalam UU No. 19 tahun 2002 tentang hak cipta (UUHC).
Sifat kebendaan hak cipta yaitu
benda bergerak tidak berwujud. Hak cipta ini bisa beralih dari satu orang ke
orang lain tapi tidak bisa secara lisan harus dengan bukti otentik secara
tertulis baik tanpa atau dengan akta notaris.
Pencipta adalah orang yang
namanya terdaftar dalam daftar umum ciptaan pada Direktorat Jendral HKI atau
orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada
suatu ciptaan. Hak pencipta dibagi 2, yaitu:
a) Hak ekonomi (economi right)
adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi bagi penciptanya atau pemegang hak
cipta untuk mendapatkan manfaat atas ciptaan serta produk hak terkait.
b) Hak moral ( moral right)
adalah hak yang melekat pada diri
pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan
apapun walaupun hak ekonomi pada hak cipta atau hak terkait telah dialihkan,
kecuali dengan persetujuan pencipta dengan persetujuan ahli warisnya dalam
pencipta telah meninggal dunia.
2. Hak paten (patent)
Hak paten adalah hak eklusif yang diberikan oleh Negara kepada investor
atau hasil invensi dalam bidang teknologi, selama jangka waktu tertentu
melakukan invensinya atau memberikan persetujuan pada pihak lain untuk
melaksanaknnya. Dasar hukumunya yaitu UU No. 24 tahun 2001 tentang paten.
3) Hak merek (trademark)
Pasal 1 ayat 1 UU Merek
merumuskan bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa. Tanda yang dapat diklasifikasikan merek yaitu, kata, huruf,
angka, gambar, warna, dan gabungan unsur-unsur tersebut, seperti satu warna (single
colour), tanda-tanda 3 dimensi baik berbentuk sebuah produk atau kemasan,
tanda-tanda yang dapat didengar, tanda-tanda yang dapat dicium, tanda-tanda
bergerak.
Merek terdiri dari merek jasa, dagang dan kolektif. Ketentuan dalam
pendaftaran merek mencakup hal sebagai berikut:
- Sebuah merek bisa didaftarkan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Adanya daya pembeda
b. Keaslian (originality)
- Sebuah merek tidak dapat didaftarkan apabila terjadi hal-hal berikut:
a. Permohonan dilakukan oleh pemohon yang
beritikad tidak baik
b. Merek tersebut mengandung
salah satu unsur dibawah ini:
1. Bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
2. Tidak memiliki daya pembeda
3. Telah menjadi milik umum
4. Merupakan keterangan atau
berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya.
10 prinsip penting UU Merek Indonesia:
1. Merek merupakan sebuah tanda
yang membedakan sebuah produk barang atau jasa dengan produk barang atau jasa
lain yang sejenis
2. Perlindungan merek diberikan
dengan pendaftaran
3. Pihak yang mengajukan
permohonan dibatasi
4. Jangka waktu perlindungan
merek dapat diperpanjang
5. UU merek menyediakan
pengecualian khusus terhadap perlindungan indikasi asal yang tak harus didaftarkan
6. Menganut asas pendaftar
pertama.
7. Menggunakan prinsip
permohonan merek yang beritikad baik
8. Penghapusan merek oleh
Direktorat Jendral HKI terjadi karena 4 kemungkinan, yaitu atas prakarsa
Direktorat Jendral HKI, atas permohonan dari pemegang merek, keputusn
pengadilan, tidak diperpanjangnya jangka waktu perlindungan merek
9. Putusan pengadilan niaga
hanya data diajukan kasasi
10. Menyadarkan proses tuntutan pidana berdasarkan
delik aduan.
F.
PENTINGNYA HAKI
Memperbincangkan masalah HaKI
bukanlah masalah perlindungan hukum semata. HaKI juga erat dengan alih
teknologi, pembangunan ekonomi, dan martabat bangsa. Secara umum disepakati
bahwa Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HaKI) memegang peranan penting
dalam pertumbuhan ekonomi saat ini. Dalam hasil kajian World Intellectual
Property Organization (WIPO) dinyatakan pula
bahwa HaKI memperkaya kehidupan seseorang, masa depan suatu bangsa
secara material, budaya, dan sosial.
Secara umum ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari sistem HaKI yang
baik, yaitu meningkatkan posisi perdagangan dan investasi, mengembangkan
teknologi, mendorong perusahaan untuk
bersaing secara internasional, dapat
membantu komersialisasi dari suatu invensi (temuan), dapat mengembangkan sosial budaya, dan dapat menjaga reputasi internasional untuk
kepentingan ekspor. Oleh karena itu, pengembangan sistem HaKI nasional
sebaiknya tidak hanya melalui pendekatan hukum (legal approach) tetapi juga
teknologi dan bisnis (business and technological approach) dan sistem perlindungan yang baik terhadap HaKI
dapat menunjang pembangunan ekonomi masyarakat yang menerapkan sistem tersebut.
G.
LEMAHNYA PERLINDUNGAN
HAKI DI INDONESIA.
Indonesia masuk negara ke empat
terburuk di dunia dalam pembajakan dan pemalsuan, dan Indonesia bisa
ditempatkan sebagai pelaku utama dari negara yang menjalankan bentuk-bentuk
baru halangan perdagangan (trade barrier) dalam skema pasar ekonomi
tradisional. Bahkan Indonesia dijuluki sebagai salah satu negara pembajak
kekayaan intelektual terhebat di dunia. Sebuah julukan yang teramat buruk. Dan
yang lebih membahayakan lagi, julukan itu bisa membuat masa depan ekonomi
Indonesia terguling lebih cepat dari yang diduga. Pasalnya, kebiasaan menjadi
pelanggar HAKI membuat kreativitas dan segala bentuk intellectual property yang
menjadi modal perekonomian global masa depan tak bisa tumbuh lagi. Kita tidak
akan mampu bersaing dalam pasar perekonomian global dan akan terus-menerus
menghadapi gugatan pihak asing yang bisa menjadikan suasana perekonomian
semakin tidak kondusif.
Saat ini Indonesia bertekad untuk
tidak mengindahkan kesepakatan internasional yang berkaitan dengan HAKI, karena
dengan satu alasan logis bahwa Indonesia belum mampu untuk bersaing dengan
negara maju, sehingga harus diberi kesempatan untuk menyamai kemampuan negara
maju tersebut. Setelah sekian lama kita menafikkan etika internasional
tersebut, ternyata tidak juga membawa kesadaran baru bahwa yang namanya proses
transfer ilmu pengetahuan itu ada batas akhirnya. Sebuah batas akhir sampai
kita benar-benar mampu memodifikasi hasil latihan kita menjadi sebuah karya
baru yang layak untuk diberi Hak atas Kekayaan Intelektual. Kita jangan hanya
menjadi bangsa pemimpi akibat dari kebanggaan yang berlebihan bahwa bangsa ini
sudah sedemikian besar dengan kandungan kekayaan alamnya yang melimpah ruah.
Penyebab utama masih rendahnya
tingkat pengajuan paten oleh peneliti Indonesia, yaitu antara lain faktor
masih relatif redahnya intensif atau
penghargaan atas karya penelitian oleh pemerintah hingga pada akhirnya kurang
memicu peneliti dalam menghasilkan karya ilmiah yang inovatif. Faktor kedua
adalah porsi bidang riset teknologi senilai kurang dari 1 % dari anggaran
pemerinta yang amat jauh tertinggal dari rata-rata angka riset negara industri
maju pada umumnya. Hal ini akan mewariskan lingkungan yang tidak kondusif dalam
menumbuhkan SDM yang berkualitas dengan kemampuan ilmu yang tinggi. Faktor
ketiga adalah para peneliti juga sering kurang menyadari pentingnya
perlindungan paten atas penemuannya, selain kecenderungan berorietasi pikiran
jangka pendek demi mengejar nilai kredit poin semata.Faktor keempat adalah
jarak lokasi tempat kerja peneliti yang tersebar di berbagai pelosok daerah
menyebabkan pos pengeluaran biaya perjalanan untuk pengurusan paten menjadi
hambatan tersendiri. Di negara-negara indusrti maju, informasi dan pendaftaran
paten telah ditampilkan pada web secara online. Singapura dengan proaktif telah
menampilkan pangkalan data (database) mengenai aplikasi pengajuan paten,
persetujuan paten, downloding info, sampai melkasanakan transaksi otomatis
secara online. Jika info HAKI ditampilkan resmi di internet maka kendala dalam
proses pengajuan dengan datang langsung ke Direktorat Jendral HAKI yang
berkantor di Tanggerang dapat serta merta dihilangkan.
Namun, sekalipun sudah terdapat
berbagai undang-undang mengenai perlindungan HaKI, hingga tahun 2004 Indonesia
masih dipandang sebagai salah satu negara terburuk dalam hal perlindungan Hak
atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Berkali-kali Indonesia gagal keluar dari
Priority Watch List. Menurut USTR, penyebabnya adalah tingginya pelanggaran Hak
Cipta di Tanah Air yakni pembajakan cakram optik musik, film dan peranti lunak.
Khusus di peranti lunak, laporan Business Software Alliance (BSA) menyebutkan
tingkat pembajakan software di Indonesia pada 2003 mencapai 88% dengan kerugian
potensial sekitar US$157 juta. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara
pembajak keempat di dunia dan ketiga di Asia Pasifik. Sejak 1999, negara ini
tidak bisa beranjak dari posisi empat besar negara dengan tingkat pembajakan
tertinggi.
Berbagai catatan buruk
pelanggaran Hak Cipta itu merugikan citra Indonesia dalam aktivitas perdagangan
dan investasi dunia. Padahal, keduanya sangat diperlukan untuk mengangkat
negara ini dari krisis perekonomian. Status Priority Watch List berdampak psikologis
dalam percaturan perdagangan internasional Indonesia walaupun tidak ada dampak
secara langsung selama Indonesia tidak masuk Piority Foreign Country.. Bagi
Amerika Serikat (AS) dan umumnya negara maju, perlindungan HaKI merupakan
syarat mutlak yang harus dipenuhi mitra dagangnya. Jika hal ini diabaikan, AS
akan menaikkan status negara mitra menjadi Foreign Priority Watch List dan
memberikan sanksi dagang. Sanksi ini pernah diberikan kepada Ukraina dengan
membatalkan ekspor negara itu ke AS senilai US$75 juta.
Untuk itu, Pemerintah berupaya
keras untuk memperbaiki perlindungan HaKI ini dimulai dengan menggelar
infrastruktur hukum. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan HaKI
yang berulangkali disesuaikan dengan standar TRIP (Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights) dari WTO (World Trade Organization). Terakhir,
pemerintah memberlakukan secara efektif UU Hak Cipta (UU No.19/2002) pada
pertengahan 2003. Berbagai razia pun digelar di mal-mal yang dikenal sebagai
pusat penjualan software bajakan. Ditjen HaKI juga mengirim surat kepada 10.000
konsumen kalangan bisnis untuk mulai menggunakan peranti lunak legal.
Berkat kerja keras Pemerintah,
pada tahun 2006 Indonesia keluar dari Priority Watch List. Namun tahun 2009
ini, USTR kembali memasukkan Indonesia dalam PWL. Ada tiga kelemahan Indonesia
dalam memberikan perlindungan dan penegakan hukum HaKI yang menjadi alasan
utama yang dikemukakan USTR dalam rilisannya, yaitu:
1)Kebijakan Optical Disc dinilai tidak efektif (Peraturan Pemerintah Nomor
29 Tahun 2004 tentang Sarana Produksi Berteknologi Tinggi Untuk Cakram Optik)
2)Rendahnya penuntutan terhadap kasus kejahatan di bidang HaKI, termasuk
penyelidikan yang berjalan lambat dan sedikitnya jumlah kasus yang diajukan ke
pengadilan.
3)Vonis hukuman penjara dan denda yang dijatuhkan oleh pengadilan tidak
membuat efek jera
·
Persoalan Kekayaan
Intelektual Indonesia
Diseminasi yang belum tuntas
Diseminasi peraturan perundangundangan di tengah-tengah masyarakat
merupakan rangkaian dari sistem hukum secara keseluruhan. Artinya, suatu
ketentuan hukum yang baru diberlakukan harus dilakukan diseminasi oleh
pemerintah agar supaya ketentuan hukum tersebut dapat diketahui, dipahami dan
dilaksanakan oleh masyarakat luas dan semua pihak.
-Ketentuan hukum yang mengatur bidang-bidang hak kekayaan intelektual,
seperti : hak cipta , paten , merek , perlindungan varietas tanaman (PVT) ,
rahasia dagang , desain industri , dan desain tata letak sirkuit terpadu
(DTLST) belum terdiseminasi dengan baik dan menyeluruh.
Hal ini merupakan salah satu titik lemah dari pelaksanaan hukum dalam
bidang hak kekayaan intelektual di Indonesia.
·
Penegakkan Hukum (Law
Enforcement)
-Permasalahan law enforcement merupakan topik yang tidak henti-hentinya
dibicarakan di setiap negara, terutama di negara-negara dunia ketiga.
-Kasus-kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual di Indonesia, seperti
pembajakan berbagai karya-karya cipta, pemalsuan merek dan lain sebagainya
makin hari semakin tinggi baik secara kuantitas maupun kualitas.
-Sangat jarang kasus-kasus pelanggaran tersebut yang sampai dinaikkan ke
pengadilan. Padahal, kasus-kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual itu dapat
ditemui dengan mudah di hampir setiap sudut kota di Indonesia.
-Lemahnya penegakan hukum hak kekayaan intelektual membuat Indonesia
dimasukkan ke dalam daftar “priority watchlist country” oleh Amerika Serikat.
·
Jumlah paten masih
minim
-Banyaknya jumlah paten yang dihasilkan oleh suatu negara berbanding lurus
dengan kemajuan teknologi dan ekonomi negara tersebut. Sebaliknya, semakin
kecil jumlah paten yang dihasilkan oleh suatu bangsa, maka akan semakin miskin
dan terkebelakang pula negara tersebut.
-Dari jumlah paten yang dihasilkan selama 2002, jumlah paten domestik yang
dalam proses pemeriksaan substantif sebanyak 21 Jumlah paten sederhana sebanyak
51
-Paten asing yang dihasilkan pada 2002 sebesar 2.471 dan 14 untuk paten
sederhana.
-Perolehan paten domestik secara keseluruhan di Indonesia pada 2002 kurang
dari 3%.
-Menurut Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Agreement
(TRIPS Agreement), jumlah paten domestik minimal 10% dari jumlah keseluruhan
paten di Indonesia.
·
Dinamika Pelanggaran
Hak Cipta di Indonesia
-Sejak 1958 hingga tahun 1988 hampir semua album musik dari musisi
internasional yang diedarkan di Indonesia adalah produk ilegal.
-Pemicunya adalah keluarnya Indonesia dari Konvensi Berne (persetujuan
internasional mengenai hak cipta) pada 1958 akibat kebijakan Perdana Menteri
Djuanda
-Keikutsertaan Indonesia di Konvensi Berne kembali diratifikasi pada tahun
1997. Lalu di tahun 2002, keluar UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
H. PERLINDUNGAN HUKUM HAK ATAS
KEKAYAAN MILIK INTELEKTUAL DI INDONESIA
Konsep perlindungan terhadap HKI
pada dasarnya adalah memberikan hak monopoli, dan dengan hak monopoli ini,
pemilik HKI dapat menikmati manfaat ekonomi dari kekayaan intelektual yang
didapatnya. Perlu diakui bahwa konsep HKI yang kita anut berasal dari Barat,
yaitu konsep yang didasarkan atas kemampuan individual dalam melakukan kegiatan
untuk menghasilkan temuan (invention). Pemberian hak monopoli kepada individu dan
perusahaan ini, sering bertentangan dengan kepentingan publik (obat, makanan,
pertanian). Di samping itu, berbagai perundangan HKI pada kenyataannya tidak
dapat melindungi pengetahuan dan kearifan tradisional (traditional knowledge
and genius). Dimasukannya masalah HKI kedalam bagian dari GATT melalui TRIPS, menambah
kesenjangan dalam pemanfaatan kekayaan intelektual antara negara maju dan
negara industri baru/berkembang. HaKI dibangun di atas landasan “kepentingan
ekonomi”, hukum
tentang property (intellectual
property). HKI identik dengan komersialisasi karya intelektual sebagai suatu
property. Perlindungan HKI menjadi tidak relevan apabila tidak dikaitkan dengan
proses atau kegiatan komersialisasi
HAKI itu sendiri. Hal ini makin jelas dengan munculnya istilah “Trade
Related Aspect of Intellectual Property Rights” (TRIPs), dalam kaitannya dengan
masalah perdagangan internasional
dan menjadi sebuah icon penting dalam
pembicaraan tentang karya
intelektual manusia. Ini pun berarti bahwa HKI
lebih menjadi domainnya GATT-WTO,
ketimbang WIPO. Karakter dasar
HKI semacam itulah yang diadopsi
ke dalam perundang-undangan Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa pembentukan
hukum HKI di Indonesia merupakan
transplantasi hukum asing ke
dalam sistem hukum Indonesia.
Kondisi
Indonesia yang sangat heterogen dengan tingkat modernisasi masing-masing
golongan masyarakat yang berbeda, tidak memungkinkan penerapan HaKI secara
tegas. Ada sebagian masyarakat yang masih terikat pada tradisi, sehingga sangat
sulit bagi mereka untuk menerima norma hukum HaKI. Sebaliknya, ada pula
sebagian anggota masyarakat yang berjiwa entrepreneur, sehingga menyambut baik
kehadiran HaKI. Dan di antara kedua kelompok itu, ada kelompok masyarakat
transisi, yang sudah bisa menerima nilai-norma globalisasi tetapi juga masih
tidak bisa berpisah dengan kearifan tradisi.
Walaupun demikian, perlu dipahami
bahwa HaKI harus dikembangkan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Misalnya, dalam
konteks pengembangan software, HaKI dapat mendorong produktifitas programmer
dan software house Indonesia. Para pengarang, penyanyi, aktor, aktris, dan para
pekerja seni yang lain juga membutuhkan HaKI untuk melindungi hasil karya
mereka. Selain itu, tidak boleh dilupakan bahwa pembajakan dan penjiplakan juga
dapat merugikan para importir dan pemegang lisensi. Sehingga dalam langkah
Indonesia ke depan, perjuangan melindungi Hak atas Kekayaan Intelektual perlu
dilakukan atas dasar manfaatnya bagi Indonesia, baik manfaat ekonomi, sosial,
maupun politik internasional.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Setiap
karya-karya yang lahir dari buah pikir yang cemerlang yang berguna bagi manusia
perlu di akui dan dilindungi. Untuk itu sistem HaKI diperlukan sebagai bentuk
penghargaan atas hasil karya. Disamping itu sistem HaKI menunjang diadakannya
sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga
kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat
dihindari atau dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut,
diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan
hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang
lebih tinggi lagi.
Hak Atas Kekayaan Intelektual sebenarnya bukanlah suatu hal yang
baru di Indonesia. Sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah
mempunyai undang-undang tentang hak atas kekayaan intelektual yang sebenarnya
merupakan pemberlakuan peraturan perundang-undangan pemerintahan Hindia Belanda
yang berlaku di negara Belanda itu sendiri, dan diberlakukan di Indonesia
sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip konkordansi.
B.
SARAN
Ditinjau dari sudut perangkat perundang-undangan, Indonesia sudah
mempunyai perangkat yang cukup di bidang HaKI. Namun pengetahuan tentang HaKI
dan perangkat perundang-undangan dimasyarakat dirasakan masih kurang dan perlu
ditingkatkan, sehingga perlindungan HaKI betul-betul dapat ditegakkan.
Disarankan
kepada masyarakat agar mengetahui pentingnya menghargai HKI dalam kehidupan.
Pemerintah harus memberikan sosialisasi kepada semua masyarakat untuk
menghargai hasil karya cipta seseorang. Pemerintah harus bertindak tegas untuk
menghukum pelaku yang terlibat dalam kasus pelanggaran hak cipta di Indonesia.
Sehingga negara Indonesia ini dapat mencapai tujuannya untuk menjadi bangsa
yang lebih baik dari sebelumnya dalam segala bidang.
Perlunya pendaftaran HAKI atas karya yang sudah diciptakan agar hal
seperti ini tidak terjadi. Pemerintah juga hendaknya perlu mengupayakan
perbaikan-perbaikan di bidang perlindungan dan penegakan hukum HAKI agar tidak
lagi masuk dalam kategori Priority Watch Listdan akan mendapat sanksi ekonomi
yang dapat berupa ekspor, pengurangan kuota perdagangan bahkan sampai dengan
embargo ekonomi. Keadaan tersebut dapat menghambat masuknya investasi ke
Indonesia, apabila pemerintah tidak secepatnya memperbaiki sistem HAKI ini, dan
reputasi Indonesia di mata dunia internasional akan benar-benar terancam.
Sekarang ini banyak kasus-kasus pelanggaran HAKI yang belum bisa
pemerintah selesaikan. Untuk itu, maka pemerintah seharusnya dapat segera
mengambil tindakan tegas untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAKI yang
ada, karena penuntasan kasus tersebut sangatlah penting untuk mengembalikan
kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Saidin, 1997. Aspek Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Raja Grafindo.
Djaja, Ermansjah, Dr., S.H., M.Si. 2009. Hukum Hak Kekayaan
Intelektual.Jakarta: Sinar Grafika